D i g i t a l
F l o w e r

Digital Flower

newer post older post

h i a t u s -- but don't forget to write on the chat box


" arch - studet "

We can chatting here






Caramel Frappucino (Part: II)
14 Sep 2014 | 06.53 | 1Comment


Caramel Frappucino (Part: Two)

Yvonne ingat saat pertama kali Matthew menyatakan perasaannya melalui surat yang di selipkan di loker sekolah. Saat itu Yvonne kelas 1 SMA dan usia mereka terpaut satu tahun. Matthew adalah wakil ketua klub basket kala itu saat Yvonne pertama kali mendaftar menjadi anggota klub basket. Dari yang awalnya hobi mengejek satu sama lain, malah membuat mereka menjadi akrab dan berpacaran tanpa sepengetahuan anggota klub yang lain.

“Ngomong-ngomong, kamu kerja dimana?”, tanya Yvonne yang ingin memecah keheningan.

“Aku kerja di kantor konsultan arsitek milikku sendiri. Kau masih ingat kan? Hobiku dulu menggambar, dan aku sangat ingin dibayar untuk menggambar. Sekarang semua jadi kenyataan, aku dibayar untuk hobiku”, jawab Matthew tersenyum bangga.

“Benarkah? Itu keren sekali!”

“Ya tentu saja, aku ini memang keren. Seharusnya kau sudah tahu itu dari dulu, haha.”, canda Matthew mencairkan suasana.

Senyum Yvonne mengembang. Dia merasa begitu hangat tenggelam dalam pelukan nostalgia. Ternyata Matthew tidak berubah, masih sama dengan sikap humoris dan tawa renyahnya yang khas. Yvonne sadar sebenanya ini salah. Ia merasa berdosa pada Abigail. Hanya kali ini saja, pikirnya. Dia ingin mengobrol dengan Matthew lebih lama, membalas tujuh tahun yang sebelumnya.

“Ehm begini, ada yang ingin aku bicarakan denganmu”, kata Yvonne sambil menimang-nimang jemarinya, tanda bahwa ia sedang bimbang,

“Apa itu?”, tanya Matthew sedikit penasaran.

“Anu…..itu…..euhm…..”

“Jangan berkumur seperti itu, vonn. Ayolah kau membuatku penasaran!”, paksa Matthew.

“Hhnggg……aku ingin minta maaf padamu”, ucap Yvonne dengan suara yang bergetar.

“Minta maaf untuk apa? Kamu ini seperti mau pergi jauh saja vonn”, disini Matthew mulai terlihat serius.

“Aku hanya merasa banyak salah padamu, Matt”

“Tidak, kamu ngga punya salah apa-apa”

“Pasti ada. Kupikir, aku telah mendapatkan karma. Aku selalu merasa bersalah dan tidak tenang. Terlebih lagi sudah tujuh tahun kau tak menghubungiku”, napas Yvonne sedikit tercekat. “Sejak dulu aku ingin sekali meminta maaf kepadamu”, matanya mulai berkaca-kaca.

Sementara itu Matthew hanya bisa kebingungan,“Bisahakah kamu menceritakannya?”

Yvonne menyeka air matanya. “Kau masih ingat Evan?”, Dia berusaha menggali kembali luka lama yang telah dikubur dalam-dalam. “Sebenarnya, dua tahun yang lalu aku hampir menikah dengannya. Namun ternyata dia memutuskanku begitu saja setelah lima tahun kami menjalin kasih. Ada wanita ketiga di belakang kami, dan aku tak pernah sadar soal itu”, terang Yvonne

“Kalau soal itu aku sudah tahu dari dulu. Aku tidak pernah marah padamu. Evan itu temanku. Dia ketua klub basket sekolah angkatanku, masa kau lupa. Haha”, jawab Matthew santai.

“Apa yang lucu? Mengapa kamu bisa menjawab sesantai itu? Kau lupa? Aku ini telah memutuskanmu, kemudian berpacaran dengan Evan!”, Yvonne geram karena Matthew tertawa pada ceritanya. “Ini bukan lelucon! Atau sebenarnya kau ini senang kan aku terluka seperti ini? Jadi kau tak perlu susah-susah balas dendam pada….”

“CUKUP YVONNE!”

Yvonne terkejut.

Matthew menarik napas dalam-dalam. “Aku bohong kalau kubilang tidak pernah sakit hati. Siapa yang tidak terluka hatinya melihat orang yang disayangi malah berpaling pada teman sendiri?”

“Namun itu juga salahku yang tidak menghubungimu berbulan-bulan semenjak kita berhubungan jarak jauh. Aku terlena dengan kesibukan baru di kampus, sehingga aku melupakanmu. Di tambah lagi saat itu aku sedang seru-serunya bermain Playstation baru dengan teman-teman. Bodoh banget ya, hahaha. Kekanak-kanakan sekali”, lanjutnya sambil tersenyum kecut.

Perlahan-lahan air mata mengalir di pipi  Yvonne. Matthew pun tak bisa berbohong, raut wajahnya jelas menunjukan rasa peyesalan yang teramat dalam. Ia menyesali betapa bodohnya dia menyianyiakan Yvonne sampai akhirnya orang yang dia sayangi jatuh ke pelukan orang lain.

“Di tambah lagi kamu sangat polos. Wajar saja di saat aku tidak ada, kau termakan oleh rayuan Evan. Dia memang playboy sejak dulu, aku tak sempat memberi tahu karena kupikir dia sudah berubah bersamamu.”, terang Matthew sambil menunduk.

“Kau tahu, terkadang orang yang membuat kita kecewa dan sakit hati adalah orang terdekat kita. Maafkan aku dulu mengacuhkanmu. Aku baru tahu betapa pentingnya dirimu setelah kamu pergi”, ucap laki-laki itu lirih.

“Maafkan aku…maafkan aku…”, Yvonne menangis deras. Gadis itu tak kuasa menahan kesedihan dan penyesalan karena sudah memutuskan laki-laki sebaik Matthew hanya karena ada cowok playboy yang menggodanya.

“Sudah, jangan menangis. Toh, hal itu sudah berlalu”, Matthew tersenyum. “Aku sudah memaafkanmu dan Evan dari dulu. Aku rela asalkan kamu bahagia. Itu karena aku dulu sangat mencintaimu, kau cinta pertamaku”, lanjutnya.

“Terima kasih”, Yvonne lega sekali. Akhirnya segala hal tentang Matthew yang mengganjal di hatinya telah ia keluarkan semua.

“Aku minta maaf jika tadi perkataanku menyinggung perasaanmu. Dan aku turut menyesal atas batalnya pernikahanmu, vonn”

“Iya tidak apa-apa.” Balasnya.

“Tapi yang aku bingungkan adalah, kenapa kamu mau pacaran sama Evan? Kamu cantik, Yvonne. Ngga bisa cari yang lebih keren sedikit? Hahaha”, ledek Matthew.

Gadis bermata coklat itu tertawa lepas, “Hahaha benar juga ya, dengan tampang seperti ini seharusnya aku bisa pacaran sama artis!”, ucapnya congkak. “Entahlah, aku juga bingung, Matt. Mengapa aku mau saja dengan pria macam dia, haha. Sungguh naif, hanya karena dia membuatku nyaman saat kau tak ada, kupikir dialah jodohku”

“Oh iya vonn, kamu sudah menikah?”

“Belum sih. Tapi aku sudah punya tunangan. Bulan depan kami akan menikah”, jawab Yvonne dengan semangat.

“Benarkah? Baguslah kalau begitu! Siapa pria beruntung yang bakal meminangmu itu?”, tanya Matthew.

“Namanya Abigail. Dia bekerja sebagai pejabat di luar kota”

“Pfffft. Kenapa namanya kayak perempuan?”, Matthew cekikikan.

“EH JAHAT!”, Yvonne kesal. Tapi perlahan-lahan dia jadi ikut terbawa dengan tawa Matthew. Mereka pun tertawa bersama.

“Maaf-maaf, hahaha”, napas pria itu sedikit tersendat karena terlalu banyak tertawa. “Tak kusangka berbicara lagi denganmu bakal seseru ini”

“Haha ya aku juga. Mungkin pertemuan kita ini bukanlah suatu kebetulan, ya”, Yvonne merogoh sesuatu dari tasnya. “Ini undangan. Datanglah ke pernikahanku bulan depan, pasti sangat menyenangkan”.

 “Terima kasih. Akan ku usahakan untuk datang”, Matthew menerima selembar kertas berwarna pink tersebut. “Ini sudah malam, sebaiknya kamu cepat pulang. Tak baik wanita sepertimu masih berkeliaran malam-malam begini”

“Benar juga. Terima kasih untuk hari ini, Matthew. Senang bertemu denganmu lagi”, ucap Yvonne.

“Terima kasih kembali, Yvonne. Au Revoir”, Matthew melambaikan tangannya.

Yvonne terus melihat punggung Matthew dari kejauhan, sampai sosok punggungnya menghilang tenggelam oleh keramainan orang berlalu-lalang. Ini adalah pertemuan pertama sejak tujuh tahun dan bisa saja ini sekaligus pertemuan terakhirnya. Dia merasa Matthew tak akan datang ke acara pernikahannya.

Biarlah, bisiknya dalam hati. Mungkin kisah cinta ini seperti Caramel Fappucino yang manis sekaligus pahit. Setiap kisah mungkin tidak berakhir bahagia selamanya. Semua yang datang akan pergi, sampai akhirnya bertemu pada orang yang Tuhan pilihkan.

Saat seseorang datang, berikanlah kenangan manis yang tidak akan terlupakan. Tidak ada yang tahu kapan dia pergi. Tapi saat orang itu pergi, jangan biarkan pahitnya sakit hati membuat kita tidak bisa melangkah lebih maju. Yvonne yakin, Tuhan memiliki rencana yang lebih baik.

Setidaknya meminta maaf pada Matthew sudah cukup bagi gadis itu. Lagi pula, sebentar lagi pria idamannya akan menikahinya. Dia yakin akan bahagia. Malam itu Yvonne melenggang dengan gembira, tak sabar ingin menceritakan sebuah kisah kepada Abigail.



-end-
©Agnia Gama Priviyanti 2014

Anonymous Anonim mengatakan...

Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

 

Posting Komentar